Konflik Agraria di sektor
kehutanan hingga kini belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. tidak jelasnya
tata batas kawasan hutan, serta lahirnya peraturan perundang-undangan memicu
konflik menjadi alasan mengapa konflik tak berujung berhenti. Undang-Undang No
18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan hutan (MP3H) menjadi salah
satu Undang-undang yang melanggenkan konflik agraria. Alih-alih menjadi
instrumen hukum untuk menjerat korporasi perusak hutan, justru pemerintah
melakukan kriminalisasi pada petani dalam kawasan hutan. undang-undang
instrumental tersebut hingga kini terus menjerat banyak petani kontraproduktif
dengan usaha penyelesaian konflik agraria.
laju perusakan hutan di
Indonesia semakin pesat, minimnya kesadaran untuk menjaga hutan dari pemegang
izin usaha pemanfaatan hasil hutan serta maraknya praktik pembalakan liar
diyakini pemerintah sebagai muara petaka kerusakan hutan. Data Kementerian
Kehutanan menunjukan dari tahun 1985 hingga 1997, Indonesia telah kehilangan
22,46 juta hektar hutan, atau sebesar 1,87 hektar per tahun. Kemudian,
meningkat 2,84 juta hektar per tahun pada rentang tahun 1997-2000 (Kemenhut, 2012).
Senada, Working Group on Forest-Land Tenure (WG- Tenure) juga menunjukan bahwa
angka kerusakan hutan di Indonesia sejak tahun 1997 hingga tahun 2000 meningkat
dari
1,87
juta hektar menjadi 2,83 juta hektar. Kemudian, tingkat deforestasi selama
periode 2000-2005 mencapai 1,2 juta hektar (Working Group Tenure, 2012: 5-8).
Forest Watch Indonesia (FWI)
mencatat bahwa laju kerusakan dari tahun 2000-2009 tercatat cukup tinggi, yakni
1,5 juta hektar. Kemudian, tahun 2009-2013, tercatat 1,13 juta hektar hutan
alam hilang per tahun. Berdasarkan data dari berbagai sumber, FWI menyimpulkan
bahwa angka kerusakan hutan di Indonesia belum menunjukan kecenderungan
penurunan secara signifikan. Bahkan, hingga tahun 2013, angkanya tidak jauh
berbeda dengan angka di tahun-tahun sebelumnya (Forest Watch Indonesia, 2015:
4-7).
Kondisi demikian menjadi sinyal
kuat bagi pemerintah untuk menetapkan sektor kehutanan sebagai prioritas
kebijakan. Tak ayal, pemerintah pun mengambil langkah, salah satunya melalui
pengesahan Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Melalui logika kebijakan yang cenderung
instrumental, pemerintah ingin beri efek jera terhadap tindak kejahatan di
wilayah hutan baik yang dilakukan oleh individu, kelompok masyarakat maupun
korporasi. Berbagai tindakan perusakan hutan didefinisikan, sekaligus
ditetapkan mekanisme penyidikan, pemeriksaan dan penyidangan terhadap tersangka
perusakan hutan. Tak hanya itu, kelembagaan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan juga tercantum dalam beberapa pasal. Tujuannya, tentu saja
mendorong kelestarian hutan dengan cara mencegah serta menjerat individu atau
korporasi yang mendalangi maupun terlibat dalam praktik perusakan hutan. Meski
langkah pemerintah sejauh ini layak diapresiasi, namun dalam proses formulasi
kebijakan, pemerintah luput mempertimbangkan berbagai masalah yang masih
merundung sektor kehutanan, serta abai terhadap satu elemen penting dalam isu
kehutanan: masyarakat. Dampaknya, UU P3H mengalami kegagalan maupun
penyimpangan dalam implementasi.
Masalaha konflik agraria di
indonesia seperti benang kusut yangsayang sulit sekali untuk diurai, konflik
agraria merupakan konflik terbesar ke-2 setelah konflik sosial. Keadaan yang
demikian parahnya seharusnya negara mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya dan
tidak merampas hak-hak rakyat. Alasan pembangunan untuk kehidupan yang lebih
baik seolah-olah menjadi jargon pemerintah untuk membodohi rakyat, kalau kita
lihat dari salah satu syarat suksesnya pembangunan adalah pemerataan pendapatan
dan tidak merusak lingkungan agar terjadi pembangunan yang berkelanjutan. Libralisasi
deisegala sektor menyebabkan indonesia makin
terjelembab di lubang hitam pendritaan, penanaman UUPMA (Undang-Undang
Penanaman Modal Asing) No 1 Tahun 1967 yang melegalkan pengusaan sumberdaya
alam oleh swasta dengan alasan percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
nasional. Sedangkan kalau kita lihat didalam UUD 1945 pasal 33 dan 34 tercantum
jelas bahwa kekayaan alam yang terkandung didalamnya (indonesia) digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan hajat orang banyak.
Untuk memepertahankan dan
melegitimasi kebijakan yang dibuat oleh kapitalis birokrat tidak segan-segan
untuk melakukan tindakan represif dan kriminalisasi oleh aparat negara yang di
instruksikan langsung oleh kaum kapitalis. Saya menyebutnya ini aliansi fasis
yang dibuat untuk semakin menyengsarakan rakyat dinegara yang sedang dalam
transisi berkembang. Hal demikian terjadi di hampir seluruh indonesia tidak
terkecuali kalimantan barat.
Saat ini di desa olak-olak kubu,
kabupaten kuburaya, pro Kalbar tindakan represif terus dilakukan oleh aliansi
fasis terhadap rakyat yang memperjuangkan Hak-haknya. Suasana desa yang semakin
mecekam sungguh sangat memprihatinkan, lebih dari 150 warga mengungsi karena
menghindari penangkapan-penangkapan yang tidak berdasar oleh pihak kepolisian. Bahkan
beberapa anak tidak masuk sekolah karena keadaan yang demikian. Perjuangan masyarakat
olak-olak menetang keberadaan PT. Sintang Raya yang kehadiranya dianggap
meresahkan warga karena telah melakukan perampasan tanah, bahkan pemukiman
warga juga terancam digusur. Keberadaan PT. Sintang Raya sebenarnya sudah cacat
secara hukum. Aksi solidaritas dari berbagai daerah terus dilakukan untuk
menentang tindakan fasis yang dilakukan oleh pemerintah di desa olak-olak.
Sumber
:
1.
Konserum
Pembaharuan Agraria
2.
AGRA KAL-BAR
3.
http://mrb-media.com/index.php/reformaagraria/690-agra-menyerukan-solidaritas-untuk-petani-kubu-raya#
diakses pada 1 agustus 2016
Komentar
Posting Komentar