Langsung ke konten utama

MASIH RELEVANKAH NASIONALISME SAMPAI SAAT INI SAMPAI SAAT INI ?

MASIH RELEVANKAH NASIONALISME SAMPAI SAAT INI SAMPAI SAAT INI ?
Oleh : Adi Afrianto[1]


            kita sebagai warga negara indonesia tentu sudah sangat sering mendengar kata Nasionalisme, akan tetapi tidak semua orang mengerti dengan arti nasionalisme itu sendiri. maka dari itu saya slaku penulis mencoba menambah pemahaman dan wawasan kita bersama. Nasionalisme merupakan paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan suatu negara yang memiliki tujuan dan cita-cita bersama untuk kepentingan nasional. Sedangkan menurut KBBI, Nasionalisme berasal dari kata "nasional" dan "isme" yaitu paham kebangsaan yang mendukung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, memiliki rasa kebanggan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa.
            Menurut Kedourie nasionalisme adalah doktrin yang berpretensi untuk memberikan satu kriteria dalam menentukan unit penduduk yang ingin menikmati satu pemerintahan eksklusif bagi dirinya, untuk melegitimasi pelaksanaan kekuasaan dalam negara, dan untuk memberikan hak mengorganisasikan suatu masyarakat negara. Dengan kata lain, doktrin ini beranggapan bahwa secara alamiah, komunitas dibagi menjadi bangsa-bangsa, bahwa bangsa dikenal mempunyai karakteristik khusus yang dapat ditentukan; dan bahwa corak pemerintahan yang sah hanyalah self-government[2].
            Menurut sudut pandang ilmuwan sosial dapat digolongkan menjadi dua sudut peninjauan, yakni secara objektif dan secara subjektif.[3]
1.      Jika ditinjau secara objektif maka nasionalisme dikaitkan dengan suatu kenyataan objektif. Sebagai faktor objektif yang paling jelas dan lazim dikemukakan, misalnya aspek atau faktor ras, bahasa, agama, peradaban (seperti apa yang dikemukakan oleh para sarjana Anglo Saxon disebut sebagai “Civilization”), wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Meskipun demikian, pandangan seperti ini senantiasa tidak terlepas dari kritikan, mereka berpendapat bahwa nasionalisme tidak selalu ditentukan faktor objektif semata-mata. Bahwa agama, ras, dan peradaban, tidak menentukan ada tidaknya nasionalisme itu. Sebagai contoh, kita ambil misalnya faktor bahasa, sebagai faktor objektif. Bangsa Swiss, merupakan salah satu suku bangsa yang tertua di Eropa dengan menggunakan empat bahasa resmi, yaitu bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Rhacto-Romantik. Bangsa Kanada, menggunakan dua bahasa resmi, yaitu bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Agamapun, tidak menentukan ada tidaknya nasionalisme dari sebuah bangsa itu. Lihat saja misalnya bangsa Kanada yang terpisah ke dalam dua suku bangsa, yakni yang masing-masing beragama Protestan dan Katolik. Di Indonesia, juga dikenal sebagai bangsa yang mengalami hal serupa, yakni sebagai bangsa yang memiliki multiagama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor objektif tersebut merupakan faktor-faktor kausatif yang menentukan ada tidaknya suatu nasionalisme yang secara khusus. Jadi, faktor-faktor objektif tersebut tidaklah merupakan faktor yang bersifat konstan, yang membentuk nasionalisme, akan tetapi lebih merupakan kondisi-kondisi yang memberikan corak secara khusus pada nasionalisme sebagai suatu bangsa. Meskipun demikian, sebagai hal yang pokok dan fundamental dalam pemahaman kita tentang nasionalisme adalah adanya kesadaran yang tinggi atau dengan perkataan lain, nasionalisme merupakan fomalisasi ataupun rasionalisasi daripada kesadaran nasional dan kesadaran nasional itulah yang membentuk bangsa (natie), dalam pengertian politik berarti sebagai negara nasional (nation state).
Definisi-definisi objektif tersebut, sudah sejak lama oleh Ernest Renan, dalam suatu pamphlet yang dikenal dengan ungkapan Apakah Bangsa itu? Pada tahun 1882. Menurut pandangan Ernest Renan bahwa bangsa itu tidak selalu ditentukan oleh ras, agama, bahasa, negara, peradaban, atau kepentingan ekonomi. Ide nasional, didasarkan atas sejarah yang gilang-gemilang, adanya pahlawan-pahlawan bangsa dan negara yang sungguh-sungguh mengabdi untuk nusa dan bangsa. Bangsa (natie) terutama dipersatukan oleh kesukaran-kesukaran, kesulitan-kesulitan (penderitaan-penderitaan) yang dialami secara bersama. Oleh karena itu, nasionalisme merupakan rasa kesadaran yang kuat dengan berlandaskan atas kesadaran akan pengorbanan yang pernah diderita bersama-sama dalam sejarah dan atas kemauan menderita dalam hal-hal serupa itu di masa depan.[4]
2.      Jika ditinjau secara subjektif, nasiolisme adalah suatu gerakan sosial atau sebuah aliran rohaniah yang mempersatukan rakyat ke dalam suatu “natie” yang membangkitkan massa ke dalam keadaan politik dan sosial yang aktif. Dengan nasionalisme seperti ini maka negara akan menjadi milik seluruh rakyat, bukan lagi menjadi milik seorang Raja, atau milik kaum bangsawan, akan tetapi menjadi milik rakyat sebagai keseluruhan dan rakyat dalam hubungan ini akan menjadi suatu “natie”. Oleh karena itu, nasionalisme dapat dipandang sebagai landasan ideal dari setiap negara nasional.[5]


Ketika berbicara mengenai nasionalisme dalam konteks Indonesia pada saat ini, tentunya tidak terlepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan perkembangan kontemporer kita saat ini. Kedua hal ini masih terus mempengaruhi nasionalisme, baik itu dari aspek definisi atau aspek praktikal, dan tidak hanya saling mempengaruhi, namun juga akan memunculkan silang pendapat antara golongan yang berusaha menghidupkan kembali romantisme masa lalu dan golongan yang berusaha memahami realitas pada saat ini.
Perdebatan antara sejarah dan perkembangan saat ini dan kemudian muncul pro-kontra antara golongan yang satu dengan yang lain akan selalu memunculkan sebuah pertanyaan besar, yaitu: masih relevankah nasionalisme untuk Indonesia? Pertanyaan yang sebenarnya hanya membutuhkan kalimat selanjutnya yang cukup panjang ini, seakan tidak pernah tenggelam di antara isu-isu lain yang berkembang, karena pada akhirnya isu-isu tersebut bisa dikaitkan dengan nasionalisme.
Nasionalisme akan mudah untuk dimengerti dan diimplementasikan jika ada musuh bersama. Jika musuh ini hilang, maka ikatan nasionalisme akan mengendur dengan sendirinya. Preseden yang muncul di Indonesia mempertegas pendapat ini. Jika kita melihat ke tahun 1940-an, ketika Belanda masih berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I dan II, nasionalisme di kalangan masyarakat masih kuat, sehingga perjuangan Indonesia di Konferensi Meja Bundar 1949 membuahkan hasil diakuinya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun pasca-KMB 1949, Indonesia kehilangan musuh bersama dan golongan-golongan dalam masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet selama masa tersebut. Nasionalisme sempat muncul meski sebentar, ketika Indonesia mengeluarkan sikap politik luar negeri terhadap Malaysia dengan Dwikora. Namun hal ini tidak berlangsung lama, karena kondisi internal dalam Indonesia memang sedang rapuh. Setelah itu, nasionalisme dapat dimunculkan kembali ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan sebagai musuh bersama karena dianggap sebagai biang keladi Gerakan 30 September. Lebih dari 30 tahun kemudian, Indonesia memperoleh kembali sebuah musuh bersama, yaitu Orde Baru, sehingga gerakan nasionalisme dapat menghasilkan reformasi dan demokrasi yang selama 30 tahun dikebiri. Namun ketika musuh bersama tersebut telah berhasil dilumpuhkan, kepentingan kelompok kembali muncul mengesampingkan nasionalsime itu sendiri. Kejadian-kejadian historis di Indonesia tersebut mempertegas bahwa nasionalisme dapat secara efektif diimplementasikan apabila masyarakat dalam sebuah negara memiliki musuh bersama.
Globalisasi telah mereduksi Nasionalisme dari sendi-sendi kehidupan bangsa indonesia. Skema negara barat dengan neo libralisme dan neo kolonialisme telah berhasil menjadi suatu paham atau candu bagi bangsa indonesia. Contoh yang paling nyata adalah
1.      kebudayaan bangsa indonesia yang sudah mulai ke arah westernisasi dengan mengikuti trend dan mode yang negara barat ciptakan. Bukan bermaksud menjelekan bangsa sendiri tetapi ini adalah fakta secara objektif yang benar-benar terjadi. Jikabangsa ini sudah tidak mencintai budayanya sendiri mau jadi apa bangsa ini ? . budaya yang sejatinya adalah identitas dari suatu bangsa kini perlahan mulai dilupakan.
2.      Ekonomi, menjadi faktor yang paling penting untuk memenuhi dan menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia yang di kelola dan dilaksanakan secara kekeluargaan sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33. Tetapi dalam prakteknya sistem ekonomi indonesia diolah secara libral yang berkedok sistem ekonomi pancasila. Inilah justru yang menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia semakin pedih.
Mengingat perjuangan para pahlawan dalam membebaskan bangsa ini dari penjajahan tidaklah semudah membalikan telapak tangan, maka oleh sebab itu kita wajib menjaga warisan kemerdekaan yang telah diperjuangan di jaman dahulu dengan tetap mengisi kemerdekaan dengan semangat cinta tanah air.
Prof. Dr. M. Dimyani Hartono. SH
“Rasa kecintaan terhadap negaranya yang tidak dapat dilepaskan dari rasa patriotisme”.

[1] Adi afrianto adalah mahasiswa fisip untan prodi ilmu politik.
[2]  E. Kedourie, op. cit., hlm. 9.
[3] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Dhiwantara, 1967), hlm. 109.
[4]  E. Gellner, Nations and Nationalism, (Ithaca: Cornell University Press, 1983), hlm. 1, 48–49.
[5] Nuri Soeseno, Kewarganegaraan: Tafsir, Tradisi, dan Isu-isu Kontemporer, (Depok: Departemen Ilmu Politik FISIP UI, 2010), hlm. 102.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adi Afrianto : Bom Sarianah Jakarta Pusat Adalah Salah Satu Skema Negara Imperialis Menguasai Indonesia

Pontianak, minggu 17 Januari 2016   Desain globalisasi berupa demokrasi yang ditawarkan oleh Amerika di indonesia sudah sangat kelewat libral. Atau dalam bahasa kerenya disebut dengan Neo – Libralisme, seperti kita ketahui bahwa negara Amerika adalah negara super power. Kita dapat melihat perang Dunia yang terjadi dan Amerika terlibat langsung didalamnya untuk menguasai beberapa negara didunia. Namun setelah perang dunia bukan berarti amerika berhenti berambisi untuk menguasai dunia, justru sebaliknya amerika semakin berambisi menguasai dunia dan salah satunya adlaah indonesia, sampai-sampai Amerika menggunakan skenario Khusus untuk menguasai dan menjajah indonesia dengan konsep skenario neo-libralisme atau penjajahan gaya baru yang lebih halus tidak menggunakan kontak senjata. Ambisi Amerika menguasai indonesia ini dikarnakan sumberdaya alam di Indonesia yang sangat melimpah . Hal ini sesuai denag teori yang di ungkapkan oleh Teori Geopolitik Karl Haushofer. Karl Haus

GEOGRAFI POLITIK “BATAS NEGARA ”

TUGAS INDIVIDU GEOGRAFI POLITIK “BATAS NEGARA ” OLEH: ADI AFRIANTO (E1051141060) FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2015 BATAS NEGARA Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Viet