“SISTEM BERLADANG MASYARAKAT ADAT VS KOORPORSI
DAN PENGARUHNYA TERHADP PERUBAHAN IKLIM”
PERLADANGAN
DAYAK (ladang berpindah/Shifting
cultivation) sejujurnya tidak merusak hutan, hal tersebut karena orang
dayak cekatan dalam membuka lahan untuk berladang namun tidak merusak alam,
sistem ladang berpindah dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan turun-temurun
warisan nenek moyang yang sudah berlangsung ratusan tahun hingga sekarang ini.
Ladang
Berpindah Dayak tidak merusak hutan juga ditulis oleh peneliti botani Inggris
pada abad ke-17 menurut catatnya lahan bekas pembukaan ladang oleh orang dayak
justru menjadi hutan skunder yang lebih lebat dari hutan primernya. Bekas
ladang berpindah ditepi hutan ditepi hutan yang ditumbuhi rumput dan tanaman
muda merupakan lahan santapan yang sangat diperlukan marga satwa penghuni rimba
raya sehingga kawasan ini menjadikan ekosistem ini sebaai kawasan yang harmonis
terlihat adanay ketergantungan antara manusia, tumbuan dan hewan.
Anggapan bahwa perladangan tradisional berkaitan dengan
keterbelakangan dan bukan suatu model pertanian yang berkelanjutan. Pandangan
seperti ini sesungguhnya mengabaikan dinamika perladangan dari masa ke masa.
Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga hal yang harus menjadi
pertimbangan, yaitu: keharmonisan antara pengetahuan dan pemahaman masyarakat
adat, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik.
Bagi Suku
Dayak misalnya, berladang bukan sekedar brcocok tanam saja melainkan ada unsur
ritual yang sakral di dalamnya. Orang asli dalam adat-istiadatnya mengenal
sistem berladang biasa disebut bahuma
batahutn satu kali panen dalam satu tahun pada saat proses perladangan
dimulai, suku dayak kayatn/Ahe melaksanakan acara tahapan adat-istiadat. Orang
dayaka saat melakukan perladangan tidak sendiri-sendiri, tetapi membentuk
kelompok-kelompok yang disebut aleatn
uma.
Setelah
melakukan perintisan dilanjutkan tahapan membersihkan lahan dengan cara
mematikan pohon untuk mempermudah pembakaran. Jika pohon besar ditebang maka
semak akan tertimpa sehingga menyulitkan peladang untuk melakukan perintisan
sulit mengeringkan bahan bakar (semak) dapat menganggu proses pembakaran
sisa-sisa penebangan nantinya.
Dapat
dipastikan bahwa penduduk pribumi atau masyarakat Dayak tidak akan merusak
kehidupan mereka sendiri dengan kata lain mana ada orang yang membakar lumbung
padinya yang menjadi sumber kehidupanya sendiri. Dewasa ini sangat disayangkan
sekali sistem ladang berpindah slalu menjadi kambing hitam dalam kerusakan
hutan. Kerusakan hutan kalimantan sejujurnya bukan ulah masyarakat Adat tapi
itu adalah ulah orang-orang elit pemerintah yang slalu serakah dan tamak akan
materi.
Keserakahan
dan ketamakan kaum Elite pemerintah akhir-akhir ini sangat meresahkan
masyarakat Adat terutama masyarakat Adat Dayak yang menunjang tinggi
adat-istiadat dan norma-norma warisan leluhur. Beberapa kasus kejahatan kaum
elite pemerintah terhadap suku Dayak yang sering terjadi antara lain:
Perampasan Hak Masyarakat Adat, Mengakui tanah Adat adalah tana milik negara.
Akhir-akhir ini sangat banyak program pemerintah yang cukup merugikan
masyarakat terlebih masyarakat Adat, tidak habis pikir jika yang mempunyai
peranan dalam pengrusakan hutan dilakukan oleh masyarakat.seandainya hal
tersebut dilakukan oleh masyarakat Adat tenntu tidak ada potret kemiskinan
Kalimantan yang terexspose di publik.
Salah satu
akses otonomi daerah adalah konflik pengelolaan hutan. Konflik terjadi dalam pengelolaan
lahan dan pemanfaatan hasil hutan antara warga yang tinggal di sekitar hutan,
Pelaku bisnis, dan pemerintah daerah. Warga yang sering berbenturan dengan
petugas perihal batas areal hutan lindung dan hak atas lahan, baik individu
(turun-temurun) , maupun kolektif (tanah adat).
Disisi lain, perngkat pemerintah daerah dilapangan, sering tidak
konsisten mengimplementasi kebijakan kehutanan. Saling tuduh siapa penyebab
konflik mengakibatkan penyelesaian menjadi berlaru-larut dan sarat kepentingan.
Kondisi ini memperburuk kondisi hutan lindung, lantaran makin luasnya lahan
lahan yang terbuka dan kritis.[1]
Sejak
masifnya ekspansi perusahaan-perusahaan skala besar di Indonesia dan khususnya kalimantan barat telah membagi
habis wilayak Kalimantan barat 16,68
juta Ha diantara tuan tanah besar dan borjuasi besar komprador. Eksploitasi
hutan semakin serius sejak implementasi otonomi daerah tahun 2001. Kementrian
Ristek menyebutkan bahwa desentralisasi kekuasaan (otonomi daerah) melalui
kebijakan pemerintah daerah sering kontradiktif dengan usaha penanggulangan illegal logging.[2]
Dan hanya menyisakan sebagian kecil tanah untuk rakyat
Kalimantan Barat 5.310.208 jiwa.
Kesimpulan tersebut tercermin dari jumlah tanah yang telah dikuasai secara
monopoli oleh tuan tanah besar dan borjuasi besar komprador. Tahun 2015, jumlah
total monopoli tanah untuk perkebunan kelapa sawit skala besar mencapai 4.365.562,53 Ha, pertambangan skala
besar mencapai 4.194.267.25 Ha, HTI
sebesar 2.293.097 Ha, HPH sebesar 1.318.624 Ha, dan taman nasional
sebesar 1.244.242 Ha, serta Hutan
Lindung 2.310.384,53 Ha. Wajar
kiranya bumi ini bila dilanda kabut asap yang sangat parah seperti September
2015 lalu karena daya serap karbon secara alamiah menurun. Kabut tak mampu ditangani
secara alamiah oleh hutan yang tersisa. Lebih diperparah lagi dengan sistem
pembukaan lahan dengan cara dibakar oleh perusahaan yang mengkambing hitamkan
masyarakat ini yang kerap kita jumpai di sekitar kita. Dan kabarnya pada tahun
2016 ini untuk pengawaasn pembakaran hutan dilaksanakan langsung oleh TNI.
Sebuah pertanyaan mendasar beranikah aparat negara kita bersikap adil terhadap
persoalan yang terjadi ? atau justru kebijakan ini semakin menyengsarakan
rakyat dengan mengintimidasi, melakukan tidnakan represif dan melakukan
kriminalisasi.
Argumen Klein dalam buku This Changes Evrything dapat diringkas sebagai berikut: selama
pasar bebas atau kapitalisme masih menjadi corak produksi utama dunia, dan
model ekonomi itu tidak diubah, maka masalah-masalah perubahan iklim akan
selalu ada dan semakin memburuk. Ia menyatakan dengan tegas bahwa
kapitalisme-lah yang menyebabkan terjadi dan mempercepatnya perubahan iklim.
Perubahan
iklim terjadi sangat cepat selama 200 tahun terakhir. Perubahan tersebut
berakibat pada rusaknya ekosistem serta munculnya berbagai
bencana alam.[3] Pengaruh
dari perubahan iklim terlihat jelas dari meningkatnya intensitas bencana dari
tahun 1970an hingga 2000an sebesar lima kali lipat. Belum lagi fenomena gagal
panen, keasaman air laut yang meningkat, serta kepunahan berbagai makhluk hidup
yang jelas menunjukkan hal ini bukanlah kejadian biasa.
Didorongnya
privatisasi, deregulasi, serta rendahnya pajak korporasi atas nama pertumbuhan
ekonomi mengakibatkan semakin cepatnya perubahan iklim. Selain Klein, hal ini
juga dinyatakan oleh geografer Marxis David Harvey. Menurutnya, ada hubungan
kuat antara neoliberalisasi yang mulai menggeliat pada 1970an dengan kerusakan
lingkungan. Harvey menambahkan bahwa neoliberalisasi menyebabkan perubahan
iklim yang cepat dan ‘berhasil’ membuat spesies-spesies punah dan merusak bumi,
hingga tidak mengherankan jika suatu saat planet ini tak bisa lagi menjadi
tempat tinggal makhluk hidup.[4]
Walaupun ada banyak bukti
valid mengenai perubahan iklim, namun tidak sedikit juga kelompok maupun
individu yang tidak percaya dengan fenomena ini. Di Amerika Serikat (AS)
misalnya, Partai Republik menganggap perubahan iklim adalah mitos. Klein
memperjelas bahwa posisi politik seseorang berpengaruh terhadap pandangan
mereka tentang perubahan iklim. Mereka biasanya menolak hasil penelitian ilmiah
itu juga dengan riset ‘ilmiah’ yang dikeluarkan oleh wadah pemikir (think
tank) yang didanai oleh Partai Republik.
Salah
satu think tank yang aktif menepis perubahan adalah Heartland
Institute. Mereka giat mengeluarkan hasil penelitian melalui jurnal maupun
buku, serta mengadakan konferensi tandingan. Mereka menganggap bahwa isu
perubahan iklim merupakan taktik untuk menyetir AS menjadi negara sosialis.
Perubahan iklim bukan hanya tanggung
jawab kelompok Gerakan Hijau atau konsumen saja, melainkan seluruh penduduk
bumi. Masyarakat bumi tidak cukup hanya menjadi konsumen yang baik dan membeli
peralatan ramah lingkungan, sementara perusahaan-perusahaan penghasil polusi
utama bisa melenggang bebas meraup keuntungan. Harus ada gerakan akar rumput
yang dapat menginisiasi ini, dengan tetap belajar kultur masyarakat adat dalam
memelihara alam dan hidup selaras dengannya.
Mimpi memiliki alam yang lestari dapat direalisasikan dengan pengelolaan
sumber daya secara komunal, sebagaimana yang terjadi di Jerman. Langkah
tersebut berhasil menekan emisi gas rumah kaca, membuka peluang untuk
mengembangkan sumber energi terbarukan dengan meninggalkan batubara, minyak
serta gas bumi, bahkan hingga membuka lapangan kerja. Ide seperti ini yang
kemudian digabungkan dengan pengetahuan-pengetahuan masyarakat adat mengenai
alam. Inilah solusi yang ditawarkan Klein dalam menghadapi perubahan iklim.
Tantangan terbesar dalam merealisasikan gerakan massa ini adalah bagaimana
gerakan akar rumput mampu membangkitkan kesadaran masyarakat luas. Mereka akan
terus berhadapan dengan kelompok-kelompok penantang yang menyebarkan isu
tandingan, seperti Heartland Institute, yang berjuang keras untuk mengatakan
bahwa perubahan iklim hanya fiktif belaka. Langkah yang bisa diambil oleh
gerakan akar rumput dalam memerangi perubahan iklim adalah bersatu dengan
gerakan-gerakan sosial lain. Dan, karena gerakan tersebut bersifat politis,
maka gerakan akan rumput pun harus berkonsolidasi dengan Partai Kiri yang ada.
Langkah tersebut menurut saya merupakan taktik yang paling konkrit sekaligus
menjadi fondasi dalam memerangi kapitalisme secara menyeluruh.
-Adi Afrianto,
Mahasiswa Ilmu Politik Untan-
Daftar Bacaan:
Greenpeace. Human Cost
of Coal Power: How Coal-Fired Power Plants Threaten The Health of Indonesians.
Agustus 2015.
Soepomo, 2000, Bab-Babt tentang Hukum Adat, cet. Ke-15.
Jakarta: Pradnya Faramita.
Hukum Yang Bergerak, Tinjauan Antropologi Hukum, Pusat Kajian
Wanita Universitas Indonesia UI : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2009.
[1]
Dikembangkan dari sebuah hasil penelitian Hibah Bersaing antara tahun 2003-2005
dengan judul “menyediakan konsep otonomi daerah dengan Good Ecological Geovermenc: mencari model partisipasi masyarakat
disekitar kawasan hutan lindung yang menjamin sinergi usahah pelestarian dan
manfaat hasil hutan (study Eksp;orasi di Kawasan Taman Nasional Kerinci seblat
Kabupaten Lebong dan Kawasan Hutan Lindung Kepahayang. Provonsi Bengkulu)”
[3] Department
of Ecology State of Washington. What Is Climate Change, diakses darihttp://www.ecy.wa.gov/climatechange/whatis.htm pada 10 Agustus 2016.
[4] David Harvey, A
Brief History of Neoliberalism, (New York: Oxford University Press,
Inc.), 2005, hlm 172-173.
Komentar
Posting Komentar