PEMERINTAH HARUS KAJI ULANG WACANA KENAIKAN
CUKAI ROKOK
Industri Hasil Tembakau (IHT) sampai saat ini masih mempunyai peran
penting dalam menggerakkan ekonomi nasional terutama di daerah penghasil
tembakau, cengkeh dan sentra-sentra produksi rokok, antara lain dalam
menumbuhkan industri/jasa terkait, penyediaan lapangan usaha dan penyerapan
tenaga kerja. Dalam situasi krisis ekonomi, IHT tetap mampu bertahan dan tidak
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bahkan industri ini mampu memberikan
sumbangan yang cukup signifikan dalam penerimaan negara.
kontribusi
itu dapat dilihat dari jumlah pajak
terhadap perekonomian nasional melampaui PT.Freeport Indonesia.
Sementara saat ini pemerintah sibuk memungut remah pajak dan saham Freeport,
IHT terus ditekan pemerintah lewat regulasi kesehatan dan cukai yang tidak berpihak.
Berdasarkan
data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, 90% penerimaan cukai berasal dari
industri hasil tembakau (IHT). Penerimaan cukai dari 2004 ke 2013 meningkat
sampai 400% dari Rp29,17 triliun sampai Rp112 triliun. Pendapatan negara dari
cukai tembakau pada tahun 2014 naik menjadi Rp116,28 triliun. Di penghujung
tahun 2015, sesuai APBN-Perubahan, target kontribusi cukai tembakau kembali
dinaikkan hingga Rp120,6 triliun. Di tahun 2016 Penerimaan Cukai Hasil Tembakau
(CHT) dalam APBN 2016 menjadi 141,7 trilliun.
Kontribusi
Freeport terhadap penerimaan negara berupa pajak, royalti, dan deviden dalam
kurun waktu 1995—2014 hanya sekitar Rp200 triliun. Direktur Industri Makanan,
Minuman, dan Tembakau, Ditjen Industri Agro, Kementerian Perindustrian, Faiz
Ahmad, mengatakan dalam kurun dua tahun saja penerimaan negara dari tembakau
sudah melampaui penerimaan dari Freeport selama hampir sepuluh tahun.
Bandingkan
kontribusi negara dalam bentuk pajak dari IHT dengan seluruh nilai industri
Badan Usaha Milik Negara sebesar Rp1.890 triliun. BUMN hanya mampu membayar
pajak sebesar Rp160 triliun. Industri farmasi yang dikuasai asing dengan nilai
sebesar Rp307 triliun, hanya mampu bayar pajak Rp3 triliun.
Wacan pemerintah untuk
menaikkan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus ini jelas tidak
memperhatikan 30 juta orang yang menggantungkan hidupnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, pada industri hasil tembakau.Kenaikan harga
rokok menjadi 50 ribu jelas bukan soslusi yang bijak dan harus dikaji ulang. Kalau
pemerintah menaikan harga rokok atas dasar banyaknya anak-anak dibawah umur yang
sudah menghisap rokok ini kan sudah jelas jawabanya bahwa tidak adanya sosialisasi PP No.109/2012 kepada
pemilik warung untuk tidak menjual rokok kepada anak di bawah 18 tahun. PP
No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan di dalamnya juga mengatur tentang larangan penjualan
rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun.
Kenaikan
tarif CHT yang dilatarbelakangi pengurangan konsumsi rokok akan memberikan
dampak pada berkurangnya penyerapan bahan baku tembakau dari petani karena
adanya pengurangan produksi dari industri rokok. Kalau bahan baku dari petani
tidak diserap, lalu mau dikemanakan hasil produksi petani. Padahal untuk
beberapa daerah, memang paling cocok hanya ditanami tembakau. Kalau tembakau
tidak lagi diserap, para petani sulit menanam yang lain. Kemudian dampak
yang paling parah adalah perusahaan akan gulung tikarar dan puluhan ribu buruh
akan di PHK yang menyebabkan persoalan baru bagi negara ini. Apalagi kita tahu
saat ini perekonomian negara sedang melemah.
Kenaikan
CHT yang mendorong kenaikan harga rokok tentu akan dibebankan pada konsumen.
Harga rokok yang akan dinaikkan hingga Rp50 per bungkus membuat konsumsi rokok
akan berkurang. Akibatnya sudah bisa dirasakan, sepanjang semester 1 – Tahun
2015 produksi rokok sudah turun 7,16% menjadi 191,41 miliar batang. Pendapatan
negara dari cukai rokok juga turun 0,13% menjadi Rp 64,45 triliun pada semester
1 – 2015. Padahal periode yang sama tahun sebelumnya Rp 64,53 triliun.
Menaikkan tarif CHT dan harga rokok per bungkus ini jelas bukan solusi.
Komentar
Posting Komentar