KRITIK
TERHADAP KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI-INDONESIA
Pendidikan adalah salah satu diantara sekian
banyak pilar kesuksesan sebuah negara dalam upaya meningkatkan taraf hidup
rakyatnya.Peranan pendidikan merupakan hal penting bagi proses peningkatan
kemampuan dan daya saing suatu bangsa di mata dunia. Keterbelakangan edukasi
seringkali menjadi hambatan serius dalam proses pembangunan masyarakat. Negara
Jepang adalah contoh yang tepat bagaimana peranan pendidikan mampu mengubah
perekonomian bangsa yang hancur lebur akibat Perang Dunia II kini bisa bangkit
keterpurukan. Lebih hebatnya lagi bahkan mampu menguasai sebagian besar ekonomi
dunia. Jepang menjadi salah satu motor penggerak modernisasi peradaban dunia
berkat pendidikan yang berkualitas.
Peranan pendidikan bukan hanya berkutat kepada
peningkatan perekonomian saja. Dalam banyak kasus, pendidikan yang terintegrasi
dengan nilai-nilai moral akan mampu membentuk sumber daya manusia yang unggul
dengan tetap memiliki harkat dan martabat sebagai manusia yang berbudaya.
Sejak zaman Reformasi masalah pendidikan dan
kesehatan merupakan hal penting yang harus disikapi secara bijaksana,
struktural dan konstitusional oleh berbagai pihak yang berkepentingan eksekutif
maupun legislatif. Mengalolasikan anggaran sebesar 20 % dalam APBN bagi
pendidikan merupakan langkah maju untuk mewujudkan generasi yang berkulitas
walaupun itu harus ditempuh secara bertahap sesuai dengan kemampuan budget
negara.
Dalam APBN 2016 anggaran pendidikan mengalami
peningkatan mencapai Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara
Rp 2095,7 triliun. Hal tersebut pun sudah sesuai dengan Undang-Undang
Pendidikan. Anggaran pendidikan tersebut akan dikucurkan melalui belanja negara
pemerintah pusat untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayan sebesar Rp 49,2
triliun, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rp 39,5 triliun,
Kementerian Agama Rp 46,8 triliun. “Kementerian Negara dan lembaga lainnya Rp
10,7 trilun. Anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa
mendapat kucuran sebesar Rp 267,9 triliun dan anggaran pendidikan melalui
pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp 5 triliun.
Telah merupakan kenyataan umum betapa kualitas
pendidikan nasional berada pada titi nadir.[1] Kekhawatiran
ini antara lain menyebabkan Depertemen Pendidikan Nasional menyusun suatu
rencana untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Dalam rangka itu pada tahun 2005-2009
Depertemen Pendidikan meluncurkan “Renstra Pendidikan Nasional”.[2] Apa yang
mencolok dari penyusunan Rentra tersebut ialah penggunaan paradigma dalam
menyususn kinerja Depertemen Pendidikan Nasional untuk melahirkan
manusia-manusia indonesia yang dapat bersaing. Disini dengan jelas kelihatan
betapa kebijakan pendidikan nasipnal dikuasai oleh pertimbangan-pertimbangan
ekonomi dunia. Kehidupan ekonomi global yang merupakan kehidupan ekonomi dunia
dikuasai oleh prinsip-prinsip ekonomi, maka tidak heran saat ini pendidikan
mejadi barang komersil yang sangat sulit dijangkau oleh kaum miskin. Padahal jelas
dalam UUD 1945 tugasnya adalah mencerdaskan kehidpan bangsa tetapi kenyataanya
hanya sebuah Good cover yang
membohongi dan membodohi publik.
Pemilihan stretegi
pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan bersaing dari manusia
indonesia tentunya satu tujuan yang baik. Nemun demikian, apakah pendidikan
nasional hanya semata-mata untuk membentuk sumberdaya manusia indonesia yang
dapat bersaing ? memang benar menurut prinsip ekonomi, persaingan akan
mengontrol kualitas.persaingan didalam perdagangan , dalam bisnis akan
mengakibatkan produk yang lebih baik akan laris, yang lemah akan mampus. Hukum Darwinisme
berlaku didalam ekonomi persaingan global dewasa ini. Dalam mengajar tujuan
tersebut orang dapat saja jatuh didalam kerakusan yang meninggalkan nilai-nilai
kemanusiaan. Suatu proses dehumanisasi. Jelaslah kiranya tujuan untuk
semata-mata melahirkan sumberdaya manusia yang dapat bersaing bertentangan
dengan hakikat manusia indonesia cerdas.
Terlebih lagi
Mendikbud yang baru Muhadjir Effendi yang akan menetapkan kebijakan Full Day School yang masih menuai
kontroversi. Tegasnya kebijakan tersebut hanya bersifat Behaviorisme,
menganalisa berdaasarkan apa yang dilihat. Kebijakan tersebut jelas sangat
mempengaruhi psikologis anak-anak yang masih skolah. Anak-anak akan dipaksa
otaknya berpikir lebih keras dan menimbulkan stress pada anak. nasib guru
honorer yang hanya bergaji Rp. 300.000/bln harus mengajar slama 1 hari. Padahal
jelas dalam Undang-Undang Ketenaga Kerjaan Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003
mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan
jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem seperti yang telas disebutkan diatas
yaitu:
a.
7 jam kerja dalam 1 hari
atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
b.
8 jam kerja dalam 1 hari
atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Sangat jelas bahwa Mendikbud tidak cermat dalam menganalisa
dalam membuat kebijakan.
Komentar
Posting Komentar