`Pendidikan
di Indonesia sejatinya harus demokratis dalam artian harus bisa dinikmati
seluruh anak bangsa indonesia sesuai dengan landasan Negara Republik Indonesia UUD
1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2 “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.[2] Angka partisipasi
pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah Anak berusia 7-13 tahun (tingkatan SD) berjumlah 46 juta.
Berusia SMP (14-16 tahun) sebanyak 25 juta. Sedangkan usia SMA (16-18 tahun)
sebanyak 17 Juta. Namun Berdasarkan data UNICEF tahun 2015
sebanyak 7,3 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati usia sekolah dasar (SD),
sementara 3 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 1 juta anak SMA
1. Sementara akses perguruan tinggi juga sangat rendah diakses oleh pemuda
Indonesia. Tahun 2015, lulusan SMA/SMK/Sederajat berjumlah 2 juta. Akan tetapi
yang melanjut ke perguruan tinggi hanya 500.000 mahasiswa baru (PTN 320.000[3] dan
PTS sisanya). Artinya hanya sekitar 25% yang mampu melanjut ke perguruan tinggi
dari total kelulusan SMA/SMK/Sederajat. Sementara saat ini jumlah mahasiswa di
Indonesia (termasuk S2 dan S3) hanya berjumlah 5,4 juta[4].
Jika dibanding usia 18-25 tahun berjumlah 49 juta sebagai usia produktif kuliah
(D-S1), maka kesimpulannya hanya mencapai kira-kira 10% yang bisa berkuliah.
Tingginya angka buta huruf di Indonesia itu dikarenakan biaya pendidikan yang
terlalu tinggi dan pendidikan yang tidak merata. Janji politik nawacita jokowi
tentang wajib belajar 12 tahun itu tidak pernah di realisasi karena UU SIDIKNAS
yang mewajibkan belajar 9 tahun belum pernah direvisi. Kemudian berlanjut
dengan UU DIKTI No 12 Th 2012 yang memberikan universitas otonomi khusus untuk
mencari sumberdana yang melibatkan pihak ke-3 (Mahasiswa, Orang tua, Swasta).
Yang menjadi permasalahanya adalah ketika pihak swasta terlalu banyak campur
tangan tentu akan berdampak pada UKT Mahasiswa yang akan semakin tinggi.
Kemudian pendidikan Dikalimantan Barat yang masih sangat rendah dikarenakan Faktor
ekonomi keluarga yang tidak cukup untuk membiayai mahalnya pendidikan.
Permasalahan pedidikan di perbatasan yang semakin hari semakin tidak jelas
dengan partisipasi pendidikan yang sangat rendah (Rasio 1 : 12 ). Padahalal
pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk pemerataan ekonomi
kedepanya.[5]
Angka partisipasi pendidikan yang sangat rendah dikarenakan mahalnya pendidikan
yang sangat sulit dujangkau oleh masyarakat KALBAR. Tanah yang sangat subur dan
SDA yang sangat melimpah dikalimantan barat seharusnya bisa dijadikan sebagai
ladang ekonomi untuk mebiayai pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.
Tetapi dengan permasalahan yang terstruktur, sistematis dan masif menjadikan
pengelolahan lahan di Kalbar sebagai area untuk mencari keuntungan oleh
Borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat. Monopoli
tanah dan perampasan tanah baru telah membagi habis seluruh wilayah kalimantan
barat sebesar 14,68 Juta ha diantara tuan tanah besar dan borjuasi besar
komprador. Dan hanya menyisakan sebagian kecil tanah untuk rakyat Kalimantan
Barat 5.310.208 jiwa. Kesimpulan
tersebut tercermin dari jumlah tanah yang telah dikuasai secara monopoli oleh
tuan tanah besar dan borjuasi besar komprador. Tahun 2015, jumlah total
monopoli tanah untuk perkebunan kelapa sawit skala besar mencapai 4.365.562,53 Ha, pertambangan skala
besar mencapai 4.194.267.25 Ha, HTI
sebesar 2.293.097 Ha, HPH sebesar 1.318.624 Ha, dan taman nasional
sebesar 1.244.242 Ha, serta Hutan
Lindung 2.310.384,53 Ha. Inilah
kemudian yang menjadi salah satu penyebab masalah ekonomi masyarakat Kalimantan
barat yang berimbas pada rendahnya pendidikan di Kalimantan Barat.
[1]
Mahasiswa ilmu politik angkatan 2014 (PASIF)
[2] Graha
Ilmu “Perbatasan Negara 2012”
[3] http://nasional.sindonews.com/read/1010635/144/daya-tampung-ptn-320-ribu-kursi-lulusan-sma-smk-2-juta-1433837941, Diakses pada 28 April 2016
[4] http://kemendesa.go.id/index.php/view/detil/1573/menteri-marwan-ajak-akademisi-turun-tangan-bangun-desa, Diakses
pada 28 April 2016.
[5] Tapal
Batas Wialayah Indonesia
Komentar
Posting Komentar